Viral 2



Mengapa Publik (Terpaksa) Harus Menerima Paket Jokowi-Ma'ruf Amin?






Mengapa Jokowi-Ma'ruf Amin?
Ada tiga hal yang bergegas dikerjakan Jokowi begitu memenangkan Pilpres 2014
  1. Mengurangi pengaruh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap Jokowi;
  2. Memotong pos-pos ekonomi/logistik yang mungkin bisa digunakan oleh lawan politik;
  3. Melipatgandakan pembangunan infrastruktur sebagai pencapaian kinerja yang monumental yang secara politik bisa menjadi modal pada 2019.
Langkah-langkah politik dalam dua tahun pertama pemerintahan Jokowi dipusatkan untuk menyelesaikan tiga proyek besar tersebut. Dan orang yang bertindak sebagai dirijen proyek ini adalah Luhut Binsar Panjaitan.

Luhut adalah jenderal lapangan dalam kampanye Pilpres Jokowi-Jusuf Kalla pada 2014. Pria 71 tahun ini adalah purnawirawan jenderal bintang empat (kehormatan) yang pernah menjadi menteri perindustrian dan perdagangan era Presiden Abdurrahman Wahid. Karier militernya lebih berkutat pada kesatuan pasukan khusus.

Luhut mengenal Jokowi pertama kali pada 2008. Dalam 
pengakuannya, ketika itu sebagai pengusaha pemegang hak penguasaan hutan, Luhut menilai perlu mendiversikan kayu produksi dalam bentuk olahan furnitur. Oleh salah seorang direkturnya, ia diperkenalkan dengan Jokowi, yang memiliki perusahaan mebel bernama PT Rakabu.

Jokowi saat itu adalah Wali Kota Solo. Dan tengah panen pujian—di antaranya disebut kepala daerah bersahaja yang tangkas membenahi kota. Singkat kata, Luhut dan Jokowi merasa cocok bekerjasama membentuk PT Rakabu Sejahtera. (Nama “Sejahtera” diambil dari grup bisnis yang dimiliki Luhut, Toba Sejahtera.) Sejak saat itu keduanya dekat.

Jokowi kemudian berhasil menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada 2012. Tahun 2014, Jokowi berniat maju sebagai capres, dan sudah mendapatkan tiket dari PDIP. Pada momentum inilah, Luhut membuat manuver politik. Ia menanggalkan posisinya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Golongan Karya (Golkar) untuk berpaling menjadi Tim Sukses Jokowi-JK. Itu membuatnya berseberangan dari pilihan Golkar yang mendukung Prabowo-Hatta.

Buah ‘pembelotan’ Luhut ternyata manis. Jokowi-Jusuf Kalla menang. Luhut pun segera mengambil peran strategis di pemerintahan. Ia penasihat politik, juru taktik, pelobi investasi, sekaligus pemadam kebakaran dari kasus-kasus pelik pemerintahanan Jokowi. Itu dilakukannya dalam posisi apa pun, entah sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Menkopolkam, atau hingga kini, Menko Kemaritiman. Tak heran, ia dijuluki superminister.


Kisruh KPK dan Ujian PDIP
13 Januari 2015. Baru tiga bulan menjabat presiden, Jokowi sudah mendapat cobaan berat. Bom itu datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka atas kepemilikan rekening jumbo.

Itu bukan tuduhan sepele. Budi adalah kandidat kuat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan dikenal dekat dengan Ketum PDIP, Megawati Sukarnoputri. Budi adalah mantan ajudan Mega saat putri Sukarno itu menjabat presiden (2001-2004).

Polri ketika itu menyerang balik. Polisi ganti menetapkan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka. Samad dituding memalsukan dokumen kartu keluarga, sementara Bambang dituduh memalsukan keterangan persidangan Pilkada.

Budi Gunawan juga melawan. Ia mengajukan gugatan praperadilan dan berhasil memenangkannya berkat putusan kontroversial Hakim Sarpin Rizaldi. Namun ia tak bisa memenangkan semuanya. Targetnya untuk menjadi Kapolri gagal. Jokowi di tengah sorotan publik, di luar dugaan, berani mencoret namanya dan ganti mengajukan Tito Karnavian sebagai satu-satunya calon Kapolri ke Dewan Perwakilan Rakya. Publik mulai percaya, Jokowi tak melulu bertindak sebagai “petugas partai” PDIP (baca: Megawati).

Perseteruan KPK dan Polri berakhir setelah Luhut Panjaitan, saat itu Kepala Staf Kepresidenan dan kemudian Menkopolkam, turun tangan. Budi pada akhirnya tetap diakomodasi dengan ditempatkan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara dan dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal penuh.

Memutar Suara Golkar
Pada Pilpres 2014, suara Golkar sudah jelas untuk Prabowo. Bahkan hampir 2 tahun setelah pilpres, Golkar masih setia pada “Koalisi Merah Putih”-nya kubu Prabowo. Padahal Jokowi membutuhkan kendaraan baru yang kekuatannya tak beda jauh dari PDIP. Momentum itu datang saat Golkar menggelar Munaslub pada Mei 2016.

Pada 17 Mei 2016, Setya Novanto terpilih menggantikan Aburizal Bakrie, dengan mengalahkan Ade Komaruddin. Terpilihnya Setnov 
dipengaruhi oleh dua tokoh senior Golkar yang turun gunung dan sama-sama berada dalam lingkaran Jokowi: Luhut Panjaitan dan Wapres Jusuf Kalla. Setelah itu, Bakrie yang terpaksa lengser tak lagi bisa membendung Golkar untuk berpindah haluan politik. Golkar resmi menyeberang ke Koalisi Jokowi. Kompensasinya, Golkar mendapatkan jatah menteri.

Misi mencari kekuatan politik penyeimbang pengaruh PDIP telah berhasil dilakukan Jokowi. Meski begitu, Jokowi tetap menjaga suasana batin PDIP. Hal ini bisa terlihat dari sikapnya yang tak pernah mengganti menteri-menteri dari PDIP, sekalipun Jokowi sudah melakukan empat kali reshuffle kabinet sampai tahun ini.

Tak hanya dengan PDIP, Jokowi juga harus berkompromi dengan kemauan partai-partai politik soal pembagian kekuasaan di DPR.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

Recent Posts

Pages

Recent Posts




HOT GAMES




Trending Music Local